*looking back at July, 7th 2011 notes..and these are what I found
Kembali ke hiruk pikuknya suasana jakarta is one of the joyful moment yang selalu ditunggu2. entah aku merindukan kemacetannya, atau serba cepatnya waktu berjalan disini. Tapi apalah arti itu semua bila dibayar dengan gelak canda ayah dan tawa riang mama, yang selalu saja menanyakan hal2 terkecil dari perjalananku sebagai mahasiswa di kota yang cukup jauh dari rumah. Adanya dunda dinda dan dita yang selalu mewarnai keceriaan di rumah, rasanya lelah dan kepenatan yang selama ini diasakan langsung menguap begitu menginjakkan kaki di rumah berumur 19 tahunku ini.
Tapi itu bukanlah yang ingin dibahas di notes ini (karena bisa habis satu novel rasanya. :D)
Hari ini mama, dita dan aku pergi untuk melakukan tugas umum wanita (baca :belanja ! hahaha). Seperti biasa kita naik kereta jurusan Ciujung Serpong AC dari stasiun Rawa Buntu menuju tanah abang. Lama menunggu, aku melakukan hal yang paling sering kulakukan disaat menunggu, mengamati orang2. seulas senyum merekah melihat anak kecil dengan sepatu berbunyinya mondar mandir digandeng sang ayah sambil mengemut eskrim, kutaksir kyknya sepatu baru karena semangatnya anak itu menginjak2 sepatu kuning mengkilat dengan bunyi 'ceplak ceploknya' (ga tau gimana deh itu bunyinya. ahaha). Apakah dibalik sepatu kuning itu terdapat peluh keringat sang ayah yang harus bekerja keras demi menyenangkan putrinya? dan yang kulihat hanyalah senyum bahagia yang terpancar dari matanya melihat sang anak yang begitu bahagia memakainya. Mungkin terpikir olehnya 'terbayarlah semua' hanya dengan gerak gerik nonverbal dari putri kesayangannya. Langsung aku tersadar, apa selama ini aku terus melakukan yang anak kecil itu lakukan pada ayahnya? yang secara implisit menyatakan bahwa aku menyukai dan menghargai apa yang diberikan oleh orang tuaku? tidak perlu aku menginjak injak sepatu mahal pemberian ayah dan mama, dengan belajar rajin dan tekun rasanya cukup bagi mereka. (yang terkadang sulit apalagi utk mahasiswa ababil seperti saya. :P ). Aku langsung memandang mama, dan bertanya tanpa mumming the word, 'have i done enough for you? malu rasanya membawa nilai yang hanya 'cukup' untuk mereka.*ma, yah, dira akan berusaha lebih keras lagi.
sampai di tempat ********** (di sensor aja ye), aku tahu yang kucari adalah kebutuhanku, tp mama dengan semangat mencarikan berbagai macam pilihan, aku ragu dengan pilihanku, dan nilai yang tidak sedikit itu ditampis dengan berbagai kata2 yang justru membuatku harus membeli itu. sementara aku tau beliau tidak pernah memanjakan dirinya dengan barang2, beliau selalu senang membeli dan memberi sesuatu yang bukan untuknya. Sampai teringat baju kesukaan mama yang dipuji dan secara becanda diminta oleh adik2 mama,teman2nya, bahkan orang lain yang dekat dengannya, mama ga segan2 meberikan bajunya itu keesokan harinya atau hari itu juga kalau beliau membawa baju ganti lain. rasanya hampir semua barang yang dirasa lebih dibutuhkan orang lain, mama akan tidak ragu memberikannya. well, tag line mungkin buat mama 'berilah, maka Allah akan memberimu lebih'. :). Diskusi dengan mama membuka pikiranku luas tentang bayak hal, terutama agama, yang seakan aku haus pengetahuan tentangnya, dan serasa disejukkan kembali dengan diskusi hari2 dengan mama,*mom, you always be my role model.
Aku selalu demand things, seldom gives. melihatnya, membuatku berfikir lebih, berapa banyak orang yang tidak sanggup membeli barang, bahkan makan pun mereka harus mengemis. jangankan orang lain, banyak org terkasih kita yang butuh juluran tangan. Bantuan yang sebenarnya dibutuhkan lebih pada semangat menggapai semangat mereka dan mengoptimalkan potensi2 mereka untuk menjadi org yang lebih kaya materiil, kaya rohani dan kaya imu. Terbesit juga pesan mama dengan tidak melumurkan kegelimangan fasilitas, tapi bagaimana melumuri mereka semangat untuk dapat mencapai fasilitas yang diinginkan. Melihat kembali ke jalanan dan pelataran stasiun, banyak pengemis yang membuatku terkadang sedih, sedih akan kemampuan yang disia siakan mereka. Walau di benak banyak orang,mengemis adalah hal yang paling mudah dilakukan dan orang terkesan malas tak mau bekerja,namun coba lihatlah di prespektif lain dimana mereka harus menurunkan derajat mereka, yang dengan putus asa melakukan segala cara demi sesuap nasi. well, terkadang hilangnya urat malu itu yang rasanya udah menjamur dan mengubah pandangan mereka betapa mudahnya hidup ini dengan menengadahkan tangan dan voila ! money comes. aku sendiri jarang memberi (dan tolong garis bawahi, memberi yang selektif diperlukan, apalagi ketika kau tahu yang mana yang baik dan mana yang tidak) dan berusaha dapat terus selectively memberi lebih banyak bagi mereka yang membutuhkan.
*oke, tampaknya saya ngomong agak melindur sana sini tanpa ujung jelas, krn memang tulisan ini hanyalah curahan harti dan klebih ke renungan untukku dan hopefully buat semuanya. Ini hanya menigisi kekosongan waktu saja, dan rindu akan menulis yang sudah dipendam dari bertahun2 yang lalu. :)
Anindira R.
Kembali ke hiruk pikuknya suasana jakarta is one of the joyful moment yang selalu ditunggu2. entah aku merindukan kemacetannya, atau serba cepatnya waktu berjalan disini. Tapi apalah arti itu semua bila dibayar dengan gelak canda ayah dan tawa riang mama, yang selalu saja menanyakan hal2 terkecil dari perjalananku sebagai mahasiswa di kota yang cukup jauh dari rumah. Adanya dunda dinda dan dita yang selalu mewarnai keceriaan di rumah, rasanya lelah dan kepenatan yang selama ini diasakan langsung menguap begitu menginjakkan kaki di rumah berumur 19 tahunku ini.
Tapi itu bukanlah yang ingin dibahas di notes ini (karena bisa habis satu novel rasanya. :D)
Hari ini mama, dita dan aku pergi untuk melakukan tugas umum wanita (baca :belanja ! hahaha). Seperti biasa kita naik kereta jurusan Ciujung Serpong AC dari stasiun Rawa Buntu menuju tanah abang. Lama menunggu, aku melakukan hal yang paling sering kulakukan disaat menunggu, mengamati orang2. seulas senyum merekah melihat anak kecil dengan sepatu berbunyinya mondar mandir digandeng sang ayah sambil mengemut eskrim, kutaksir kyknya sepatu baru karena semangatnya anak itu menginjak2 sepatu kuning mengkilat dengan bunyi 'ceplak ceploknya' (ga tau gimana deh itu bunyinya. ahaha). Apakah dibalik sepatu kuning itu terdapat peluh keringat sang ayah yang harus bekerja keras demi menyenangkan putrinya? dan yang kulihat hanyalah senyum bahagia yang terpancar dari matanya melihat sang anak yang begitu bahagia memakainya. Mungkin terpikir olehnya 'terbayarlah semua' hanya dengan gerak gerik nonverbal dari putri kesayangannya. Langsung aku tersadar, apa selama ini aku terus melakukan yang anak kecil itu lakukan pada ayahnya? yang secara implisit menyatakan bahwa aku menyukai dan menghargai apa yang diberikan oleh orang tuaku? tidak perlu aku menginjak injak sepatu mahal pemberian ayah dan mama, dengan belajar rajin dan tekun rasanya cukup bagi mereka. (yang terkadang sulit apalagi utk mahasiswa ababil seperti saya. :P ). Aku langsung memandang mama, dan bertanya tanpa mumming the word, 'have i done enough for you? malu rasanya membawa nilai yang hanya 'cukup' untuk mereka.*ma, yah, dira akan berusaha lebih keras lagi.
sampai di tempat ********** (di sensor aja ye), aku tahu yang kucari adalah kebutuhanku, tp mama dengan semangat mencarikan berbagai macam pilihan, aku ragu dengan pilihanku, dan nilai yang tidak sedikit itu ditampis dengan berbagai kata2 yang justru membuatku harus membeli itu. sementara aku tau beliau tidak pernah memanjakan dirinya dengan barang2, beliau selalu senang membeli dan memberi sesuatu yang bukan untuknya. Sampai teringat baju kesukaan mama yang dipuji dan secara becanda diminta oleh adik2 mama,teman2nya, bahkan orang lain yang dekat dengannya, mama ga segan2 meberikan bajunya itu keesokan harinya atau hari itu juga kalau beliau membawa baju ganti lain. rasanya hampir semua barang yang dirasa lebih dibutuhkan orang lain, mama akan tidak ragu memberikannya. well, tag line mungkin buat mama 'berilah, maka Allah akan memberimu lebih'. :). Diskusi dengan mama membuka pikiranku luas tentang bayak hal, terutama agama, yang seakan aku haus pengetahuan tentangnya, dan serasa disejukkan kembali dengan diskusi hari2 dengan mama,*mom, you always be my role model.
Aku selalu demand things, seldom gives. melihatnya, membuatku berfikir lebih, berapa banyak orang yang tidak sanggup membeli barang, bahkan makan pun mereka harus mengemis. jangankan orang lain, banyak org terkasih kita yang butuh juluran tangan. Bantuan yang sebenarnya dibutuhkan lebih pada semangat menggapai semangat mereka dan mengoptimalkan potensi2 mereka untuk menjadi org yang lebih kaya materiil, kaya rohani dan kaya imu. Terbesit juga pesan mama dengan tidak melumurkan kegelimangan fasilitas, tapi bagaimana melumuri mereka semangat untuk dapat mencapai fasilitas yang diinginkan. Melihat kembali ke jalanan dan pelataran stasiun, banyak pengemis yang membuatku terkadang sedih, sedih akan kemampuan yang disia siakan mereka. Walau di benak banyak orang,mengemis adalah hal yang paling mudah dilakukan dan orang terkesan malas tak mau bekerja,namun coba lihatlah di prespektif lain dimana mereka harus menurunkan derajat mereka, yang dengan putus asa melakukan segala cara demi sesuap nasi. well, terkadang hilangnya urat malu itu yang rasanya udah menjamur dan mengubah pandangan mereka betapa mudahnya hidup ini dengan menengadahkan tangan dan voila ! money comes. aku sendiri jarang memberi (dan tolong garis bawahi, memberi yang selektif diperlukan, apalagi ketika kau tahu yang mana yang baik dan mana yang tidak) dan berusaha dapat terus selectively memberi lebih banyak bagi mereka yang membutuhkan.
*oke, tampaknya saya ngomong agak melindur sana sini tanpa ujung jelas, krn memang tulisan ini hanyalah curahan harti dan klebih ke renungan untukku dan hopefully buat semuanya. Ini hanya menigisi kekosongan waktu saja, dan rindu akan menulis yang sudah dipendam dari bertahun2 yang lalu. :)
Anindira R.